Tuesday, 15 September 2015

BERKARYA DENGAN ZENPAD C 7.0

BERKARYA DENGAN ZENPAD C 7.0
(oleh Dwi Utami)
                                                                                                                                                     
          Sekolah menengah pertama, di zamanku saat itu seperti zaman batu yang masih sedikit kolot dengan teknologi apalagi yang bernama komputer karena pada saat sekolah dasar hanya pada saat kelas lima dan enam yang mulai mengoperasikannya. Tugas individu maupun kelompok dengan keharusan mengetik di komputer harus kulakukan, mau tidak mau ya harus berhubungan dengan komputer. Saat itu sering banget ke warnet mengerjakan tugas bareng teman, tugas indivudu pun berujung menjadi pekerjaan kelompok. Alangkah indah jika saling membantu.
Meninggalkan sedikit cerita tentang masa menengah pertama yang masih unyu, dan menuju sekolah menengah atas yang menumpuk dengan tugas-tugas dan presentasi yang mengharuskan untuk memiliki sebuah laptop. Saat itu masih barengan sama saudara, belum memiliki hak sepenuhnya untuk kepemilikan laptop atau apalah itu. Agak miris banget sih tugas menumpuk, pinjam laptop sana-sini, ya di buat happy aja. Titik lelah itu ada. Saat aku mulai bermimpi mempunyai sebuah laptop, aku akan berkarya. Cita-cita yang sepele itu terwujud setelah sebuah laptop tidak sengaja tersiram akibat kecerobohanku dan itu bukan milikku dan akhirnya aku bergegas untuk membeli laptop sendiri. Segenap usaha  kulakukan dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kesalahan yang membawa luka itu menyadarkan aku untuk berusaha dan berusaha lagi agar aku dapat memiliki laptop sendiri.
Jalan setapak berbatu hingga aspal licin kuseberangi hingga aku dapat bertemu dengannya hingga kini. Notebook ASUS bekas menjadi milikku saat ini. Tidak apa dan aku tidak mempermasalahkannya. Aku mulai berkarya dengannya. Langkahku tidak jauh denganya, tetapi aku takut jika dia sudah mulai lelah dan meninggalkanku, tugas-tugas dan karya-karyaku akan terkapar. Dan rasa takut kehilangan selalu mendera pikirku mungkin aku harus berusaha kembali untuk mencari penggantinya.
Jika mimpi indah akan terwujud nyata mungkin aku hanya dapat melakukan yang terbaik dari sebelumnya. Mimpiku adalah memiliki ASUS ZenPad C 7.0. Dia akan berada di sisiku menggantikan ASUS bekas yang mungkin sudah teramat lelah bersamaku. Kulihat secercah harapan di sebuah internet yang mengadakan lomba kontes blog tentang ASUS. Aku tak ingin melewatkannya. Takdir yang menentukan keberadaannya bersamaku  tetapi ada pula kata perpisahan untuk mengakhirinya. Aku tidak ingin melihat dia yang teramat lelah dan izinkan aku menggantinya dengan ZenPad C 7.0 sehingga aku dapat terus untuk berkarya.

ASUS kini menghadirkan ZenPad, dengan ukuran 7 inci. Aku melihat dengan seksama di internet, dan aku mulai menaruh hati padanya.Tablet terbaru dengan sistem operasi Android 5.0 Lollipop dan diperkuat oleh prosesor Intel Atom x3-C3230 Quad-Core 64-bit yang mampu  menawarkan kemampuan tinggi dan hemat energi. Cocok untuk berkarya dan enak dibawa dimana saja. Jika dia dapat menggantikan netbook ASUS-ku yang sudah lelah itu, aku akan lebih bersemangat untuk berkarya
Aku memiliki hobi menulis terutama menulis cerpen dan puisi. Setiap langkahku aku selalu terpikirkan tentang kehidupan sehingga di dalam benak ini selalu ingin menuangkan sesuatu dalam bentuk tulisan agar setiap momen akan selalu terukir dengan indah. Entah di jalan, di kerumunan, di tempat sepi, gelap nan sunyi aku selalu mencoba mengingat hal- hal apa yang ingin kutuliskan, tetapi penyakit lupa sering laki kambuh ketika mengingat. Saat ini aku masih menggunakan notebook ASUS sehingga harus menunggu sampai rumah untuk menuangkan sesuatu yang ingin kutulis itu.
Menapa ASUS? Rasanya aku sulit untuk lepas dari namanya karena notebook pertamaku walaupun bekas sangat membantuku dalam berkarya. Tampilannya cocok untuk anak muda dan banyak varian warna.

ZenPad C 7.0, memudahkan aku saat memiliki inspirasi di jalan dan aku dapat langsung menyimpannya dengan mudah. Gaya yang simple dan modern sangat cocok dikalangan pelajar maupun mahasiswa. Baterai yang tahan lama sangat mendukung untuk hiburan saat perjalanan jauh, disaat itu kita bisa mendengarkan musik maunpun dapat berkarya saat melihat pemandangan indah di jalan. ASUS ZenPad C 7.0 memberi kemudahan untuk menjalankan aktifitas tanpa membosankan. Usaha dan doa akan mengiringi langkahku untuk mewujudkan keberadaanmu menemani hari-hariku. ZenPad C 7.0 semoga dapat terwujud dan dapat memberi inspirasi dalam setiap karyaku.



 @dwi_utamimoz

Sunday, 13 September 2015

cerpen : Urai Kelopak Mawar dan Perjuanganku

Urai Kelopak Mawar dan Perjuanganku
( oleh Dwi Utami )

Jika ini memang terbaik untukku, aku akan rela melepaskan kesempatan ini. Aku sungguh tidak tahu untuk apa jika aku hidup dengan egois dan tidak memikirkan keluargaku. Keputusan ini sungguh sulit untukku terima tetapi ini adalah terbaik untukku. Tiga tahun lalu, adikku terserang penyakit aneh, sungguh ini cobaan yang amat luar biasa, ibuku hanya seorang ibu rumah tangga, dan ayahku hanya seorang pegawai negeri sipil yang sulit untuk ganti golongan karena hanya lulusan sekolah menengah atas. Kakak pertamaku sudah bekerja di luar negeri menjadi tenaga kerja Indonesia tetapi ironisnya dia belum kembali pulang, kakak keduaku, dia hanya seorang isteri yang  dipinang oleh keluarga yang sepadan dengan keluargaku dengan kata lain dia juga memiliki beban keluarganya sendiri dan tidak lagi mampu membantu orangtuaku untuk mengobati adikku.
Aku ingin melanjutkan sekolah. Hati ini kacau untuk memikirkannya, setelah lulus sekolah menengah atas, aku ingin melanjutkan kuliah, ini seperti mimpi dalam benakku. Entah mengapa aku menginginkan sekali. Buku tebal dan sebuah laptop, tas jinjing, itu hanya khayalan bagiku.
Aku bekerja di toko kecil yang penghasilannya juga pas-pasan untuk makan sehari-hari, setelah lulus sekolah aku baru bisa berpikir bahwa beban orangtuaku sangatlah berat, aku tidak ingin menambah beban lagi untuk mereka, lalu kuputuskan untuk mencari kerja yang dekat dengan tempat tinggalku agar tidak perlu membayar uang kos. Sebulan yang lalu pengumuman snmptn tersebar di surat kabar, aku hanya asal-asal membeli koran pada saat itu ketika pulang kerja. Alhasil, aku diterima di perguruan tinggi favorit dan prodi yang memang  menjadi impianku. Impianku kandas begitu saja melihat kondisi keluargaku yang tidak memungkinkan untuk mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah. Apa kata tetangga? Jika aku bertekad mengambilnya, mereka pasti berargumen, “ndak kasihan sama adikmu yang sakit-sakitan, orangtuamu juga ndak bakalan bisa menyekolahkanmu, apalagi nduk, kamu juga perlu kos, makan, perlu biaya banyak ..” itu bisa dibayangkan betapa tidak pedulinya mereka dengan hidup seseorang. Niatku untuk melanjutkan sekolah menguap bersama air laut.
Nduk, kamu tahun besok harus ikut ujian masuk perguruan tinggi, ya, Ibu ndak mau lihat kamu seperti Ibu yang tidak bisa membahagiakan kamu.” Air mata ini mengalir deras mendengar perkataan yang membuat hatiku teriris sakit sekaligus meredakan kegalauan yang amat besar. “ Bu, bagaimana Salma bisa sekolah, Salma belum mengumpulkan uang sepeser pun untuk kuliah tahun besok?”
Nduk, berdoalah mudah-mudahan kamu diberi rezeki dan belajarlah yang sungguh- sungguh.”
Aku tidak tahu dan tidak yakin dengan apa yang sedang melanda hidupku, aku menyesal melanjutkan bangku sekolah menengah atas, seharusnya aku melanjutkan di sekolah menengah kejuruan, mungkin keahlian menjahitku akan terasah, tetapi itu kesalahanku terdahulu dan aku tidak ingin mengulanginya kembali.
Tuhan berikanlah aku hidup yang selayaknya, aku tidak tahu mengapa aku sudah merasa lelah dengan semua ini? Maafkan aku.
Saat-saat terberat dalam hidup kita adalah saat kita mengambil keputusan saat itulah kita memiliki tanggung jawab atas keputusan kita. Aku bahagia, masih sanggup bahagia karena satu alasan, aku memiliki orangtua yang sangat bertanggung jawab.
Terik mentari melelehkan pikirku, aku bekerja dengan giat dan tak lupa untuk membuka soal-soal yang bisa kupersiapkan sebelum ujian tulis masuk perguruan tinggi. Tiap pagi aku berangkat kerja menggunakan sepeda mini yang sudah berkarat, dia selalu menemani langkahku pergi. Sore pun datang dengan membawa seberkas senyuman hangat, angin sore mengantarku pulang ke rumah. Malam-malamku agak penat denga soal-soal ujian masuk perguruan tinggi. Cinta tak mungkin berakhir dan aku tidak akan meninggalkan rutinitas ini sebelum aku diterima kembali di perguruan tinggi yang aku impikan.
Sinta, dia adalah adikku tercinta, sedih rasanaya saat melihat dia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk cuci darah di usia dininya, aku tidak tahu penyakit apa yang telah menggerogoti tubuh kecil itu, aku akan selalu berada di sampingnya selagi aku masih bersamanya.
“ Kak Salma rajin banget,” kata-kata indah yang ia lontarkan dihadapanku saat aku belajar di malam hari.
“Iya, kakak ingin jadi perawat, biar bisa merawat kamu gratis sampai kamu sembuh, maafkan kakak ya, saat ini kakak belum bisa bantu kamu,” aku mencoba menghiburnaya agar dia bersemangat untuk bisa melawan penyakitnya.
Satu bulan berlalu dengan rutinitas yang mungkin bisa membuat raga dan jiwa ini bisa menyerah kapanpun. Namun itu tidak akan bisa, aku masih kuat dengan semua ini, aku bersyukur ibuku mendapat pekerjaan sambilan yang agak lumayan, dia memang sosok wanita yang tidak mungkin melimpahkan beban keluarga pada suaminya, tentu dia rela berkorban dengan ringan tangan membatu meringankan beban keluarga. Aku sudah terbiasa dengan sayur yang nangka yang dihangatkan hingga berhari-hari, tapi aku tidak bisa melihat adikku yang menderita karena penyakit juga memakan dengan makanan yang sama denganku. Aku tidak tega melihatnya, tiga hari sekali aku membelikannya susu, sayuran bergizi, dan aku berharap dia diringankan penyakitnya.
Hujan deras mengguyur atap rumah yang sudah renta ini, air membanjiri lantai lusuh, dingin amat dingin tidak seperti biasa. Sayur pepaya yang dimasak saat pagi sudah sedingin tubuh ini. Aku, adikku, dan orangtuaku makan dengan sepenggal cerita. Tiba-tiba cerita kami terhenti, petir menyambar hati keluargaku, hujan membasahi isak tangis keluargaku. Sinta, kini tidak ada di dunia fana ini yang membuatnya harus bolak-balik mencuci darahnya dan menahan sakit. Dia meninggalkan dunia bersama aliran air yang suci, semoga jiwanya dijaga dengan suci pula.
Satu minggu kepergian Sinta berlalu dan rutinitas belajarku berakhir di hari Selasa ini, untuk pertama kalinya aku merasakan panas dan dingin secara bersamaan di dalam satu ruang, aku seperti ingin di eksekusi dan aku adalah sebagai tersangkanya. Tidak. Aku harus berkonsentrasi dan tidak boleh berpikiran negatif saat mengerjakan soal ujian masuk perguruan tinggi ini. Jemariku kaku hingga otakku beku. Sekelebat bayangan wajah Sinta muncul dipikirku. Konsentrasi dan kerjakan soal! Aku telah berjanji dengan adik tercintaku aku akan menjadi perawat meski kini aku tidak bisa merawatnya kembali, tetapi setidaknya aku harus menepati janjiku, karena ini adalah janji mati.
“Waktu mengerjakan tinggal sepuluh menit lagi,” pengawas memberi petunjuk waktu pengerjaan. Debar jantung ini mengalahkan rasa takutku. Aku mengoreksi jawaban dan mulai berkemas meninggalkan bangku panas-dingin itu. Aku ingin meninggalkan soal yang begitu membuatku pusing dan mual secepatnya.
Aku meninggalkan ruang eksekusiku, aku dapat mengalahkan rasa berkecambukku, aku yakin aku akan jadi pemenang. Aku tidak akan mengalah, tetapi  aku akan menyerah pada yang kuasa saat ini, besok, dan lusa. Jika ini terbaik untukku dari-Nya maka aku akan menerimanya. Sungguh aku akan menyerah di hadapan-Mu, aku ingin menjadi anak yang berguna untuk semua, maka izinkanlah, tunaikanlah hajat hamba-Mu yang lemah ini. Aku ingin membahagiakan orangtuaku, itu cukup dan selebihnya karunia yang Maha Kuasa. Tuhan yang memiliki rencana, maka aku hanya bisa melakukan yang bisa kulakukan. Semoga ini terbaik untukku dan oleh-Nya.
                 “Salma, coba lihat pengumuman online-nya, aku sudah diterima”, pesan singkat dar      i teman seperjuanganku. Syukur aku panjatkan, teman-temanku telah banyak yang sudah di terima setelah menunggu satu tahun kemudian. Aku mendapat pekerjaan shif malam, tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan pekerjaanku. Aku harus menunggu satu jam lagi. Sabar. Baru kali ini aku merasa waktu satu jam amat lama seperti setahun telah berlalu. Akhirnya, yang kutunggu pun datang, ibuku menjemputku karena sudah berjanji untuk menemaniku melihat hasil ujian tertulis masuk perguruan tinggi.
          Aku sudah tidak bisa merasakan tiupan angin yang dingin, tetapi aku hanya bisa merasakan betapa dinginnya kedua tangan ibuku yang setia menemaniku mengayuh sepeda untuk mengantarkan aku ke warnet.
          Sudah aku prediksikan, impian menjadi kenyataan, aku tahu dan aku percaya, Tuhan akan memberi sesuatu tepat pada waktunya. Aku bisa. Aku diterima. Aku akan merawat orang yang juga merasakan sakit seperti adikku.
         Syukurku yang tiada terkira kupanjatkan, urai air mata kebahagiaan membasahi wajah ibuku, senyum dan tangin menjadi padu. Jika Sinta berada disini, dia akan tersenyum juga. Aku tidak sabar memberi kabar bahagia untuk ayahku, beliau pasti akan kagum dengan perjuangan anaknya selama ini.                        
          Langkah dan pikirku tidak terhenti begitu saja, aku harus memecahkan kendala dan menghapus kekhawatiranku. Beasiswa, itu adalah kunci yang harus kucari. Aku menghubungi teman-teman yang sudah kuliah satu tahun yang lalu, aku harus dapat beasiswa itu.
“Salma, tenang saja banyak beasiswa kok, aku akan menemanimu mengurus beasiswamu, aku tahu kamu bisa melanjutkan sekolahmu” sepotong kalimat Hana yang dapat melegakan perasaanku, hatiku.
         Untuk Sinta, adikku tersayang
         Kakak telah menepati janji, kamu tenang di alam sana, kakak akan mendoakanmu.
         Kelopak mawar jatuh satu per satu dengan urai bunga krisan di tanah yang basah.

Hidupku tak akan ku sia-siakan, jiwa ini akan selalu mengabdi pada negara ini dan untuk anak-anak Indonesia yang senasib dengan adikku, aku akan merawat kalian sepenuh hatiku.