Urai Kelopak Mawar dan Perjuanganku
( oleh Dwi Utami )
Jika
ini memang terbaik untukku, aku akan rela melepaskan kesempatan ini. Aku
sungguh tidak tahu untuk apa jika aku hidup dengan egois dan tidak memikirkan
keluargaku. Keputusan ini sungguh sulit untukku terima tetapi ini adalah
terbaik untukku. Tiga tahun lalu, adikku terserang penyakit aneh, sungguh ini
cobaan yang amat luar biasa, ibuku hanya seorang ibu rumah tangga, dan ayahku
hanya seorang pegawai negeri sipil yang sulit untuk ganti golongan karena hanya
lulusan sekolah menengah atas. Kakak pertamaku sudah bekerja di luar negeri
menjadi tenaga kerja Indonesia tetapi ironisnya dia belum kembali pulang, kakak
keduaku, dia hanya seorang isteri yang
dipinang oleh keluarga yang sepadan dengan keluargaku dengan kata lain
dia juga memiliki beban keluarganya sendiri dan tidak lagi mampu membantu
orangtuaku untuk mengobati adikku.
Aku
ingin melanjutkan sekolah. Hati ini kacau untuk memikirkannya, setelah lulus
sekolah menengah atas, aku ingin melanjutkan kuliah, ini seperti mimpi dalam
benakku. Entah mengapa aku menginginkan sekali. Buku tebal dan sebuah laptop,
tas jinjing, itu hanya khayalan bagiku.
Aku
bekerja di toko kecil yang penghasilannya juga pas-pasan untuk makan
sehari-hari, setelah lulus sekolah aku baru bisa berpikir bahwa beban
orangtuaku sangatlah berat, aku tidak ingin menambah beban lagi untuk mereka,
lalu kuputuskan untuk mencari kerja yang dekat dengan tempat tinggalku agar
tidak perlu membayar uang kos. Sebulan yang lalu pengumuman snmptn tersebar di
surat kabar, aku hanya asal-asal membeli koran pada saat itu ketika pulang
kerja. Alhasil, aku diterima di perguruan tinggi favorit dan prodi yang
memang menjadi impianku. Impianku kandas
begitu saja melihat kondisi keluargaku yang tidak memungkinkan untuk mengambil
keputusan untuk melanjutkan sekolah. Apa kata tetangga? Jika aku bertekad mengambilnya,
mereka pasti berargumen, “ndak
kasihan sama adikmu yang sakit-sakitan, orangtuamu juga ndak bakalan bisa menyekolahkanmu, apalagi nduk, kamu juga perlu kos, makan, perlu biaya banyak ..” itu bisa
dibayangkan betapa tidak pedulinya mereka dengan hidup seseorang. Niatku untuk
melanjutkan sekolah menguap bersama air laut.
“Nduk, kamu tahun besok harus ikut ujian
masuk perguruan tinggi, ya, Ibu ndak
mau lihat kamu seperti Ibu yang tidak bisa membahagiakan kamu.” Air mata ini
mengalir deras mendengar perkataan yang membuat hatiku teriris sakit sekaligus
meredakan kegalauan yang amat besar. “ Bu, bagaimana Salma bisa sekolah, Salma
belum mengumpulkan uang sepeser pun untuk kuliah tahun besok?”
“
Nduk, berdoalah mudah-mudahan kamu
diberi rezeki dan belajarlah yang sungguh- sungguh.”
Aku
tidak tahu dan tidak yakin dengan apa yang sedang melanda hidupku, aku menyesal
melanjutkan bangku sekolah menengah atas, seharusnya aku melanjutkan di sekolah
menengah kejuruan, mungkin keahlian menjahitku akan terasah, tetapi itu
kesalahanku terdahulu dan aku tidak ingin mengulanginya kembali.
Tuhan
berikanlah aku hidup yang selayaknya, aku tidak tahu mengapa aku sudah merasa
lelah dengan semua ini? Maafkan aku.
Saat-saat
terberat dalam hidup kita adalah saat kita mengambil keputusan saat itulah kita
memiliki tanggung jawab atas keputusan kita. Aku bahagia, masih sanggup bahagia
karena satu alasan, aku memiliki orangtua yang sangat bertanggung jawab.
Terik
mentari melelehkan pikirku, aku bekerja dengan giat dan tak lupa untuk membuka
soal-soal yang bisa kupersiapkan sebelum ujian tulis masuk perguruan tinggi. Tiap
pagi aku berangkat kerja menggunakan sepeda mini yang sudah berkarat, dia
selalu menemani langkahku pergi. Sore pun datang dengan membawa seberkas
senyuman hangat, angin sore mengantarku pulang ke rumah. Malam-malamku agak
penat denga soal-soal ujian masuk perguruan tinggi. Cinta tak mungkin berakhir
dan aku tidak akan meninggalkan rutinitas ini sebelum aku diterima kembali di
perguruan tinggi yang aku impikan.
Sinta,
dia adalah adikku tercinta, sedih rasanaya saat melihat dia harus bolak-balik
ke rumah sakit untuk cuci darah di usia dininya, aku tidak tahu penyakit apa
yang telah menggerogoti tubuh kecil itu, aku akan selalu berada di sampingnya
selagi aku masih bersamanya.
“
Kak Salma rajin banget,” kata-kata indah yang ia lontarkan dihadapanku saat aku
belajar di malam hari.
“Iya,
kakak ingin jadi perawat, biar bisa merawat kamu gratis sampai kamu sembuh,
maafkan kakak ya, saat ini kakak belum bisa bantu kamu,” aku mencoba
menghiburnaya agar dia bersemangat untuk bisa melawan penyakitnya.
Satu
bulan berlalu dengan rutinitas yang mungkin bisa membuat raga dan jiwa ini bisa
menyerah kapanpun. Namun itu tidak akan bisa, aku masih kuat dengan semua ini,
aku bersyukur ibuku mendapat pekerjaan sambilan yang agak lumayan, dia memang
sosok wanita yang tidak mungkin melimpahkan beban keluarga pada suaminya, tentu
dia rela berkorban dengan ringan tangan membatu meringankan beban keluarga. Aku
sudah terbiasa dengan sayur yang nangka yang dihangatkan hingga berhari-hari,
tapi aku tidak bisa melihat adikku yang menderita karena penyakit juga memakan
dengan makanan yang sama denganku. Aku tidak tega melihatnya, tiga hari sekali aku
membelikannya susu, sayuran bergizi, dan aku berharap dia diringankan
penyakitnya.
Hujan
deras mengguyur atap rumah yang sudah renta ini, air membanjiri lantai lusuh,
dingin amat dingin tidak seperti biasa. Sayur pepaya yang dimasak saat pagi
sudah sedingin tubuh ini. Aku, adikku, dan orangtuaku makan dengan sepenggal
cerita. Tiba-tiba cerita kami terhenti, petir menyambar hati keluargaku, hujan
membasahi isak tangis keluargaku. Sinta, kini tidak ada di dunia fana ini yang
membuatnya harus bolak-balik mencuci darahnya dan menahan sakit. Dia
meninggalkan dunia bersama aliran air yang suci, semoga jiwanya dijaga dengan
suci pula.
Satu
minggu kepergian Sinta berlalu dan rutinitas belajarku berakhir di hari Selasa
ini, untuk pertama kalinya aku merasakan panas dan dingin secara bersamaan di
dalam satu ruang, aku seperti ingin di eksekusi dan aku adalah sebagai
tersangkanya. Tidak. Aku harus berkonsentrasi dan tidak boleh berpikiran
negatif saat mengerjakan soal ujian masuk perguruan tinggi ini. Jemariku kaku
hingga otakku beku. Sekelebat bayangan wajah Sinta muncul dipikirku. Konsentrasi
dan kerjakan soal! Aku telah berjanji dengan adik tercintaku aku akan menjadi
perawat meski kini aku tidak bisa merawatnya kembali, tetapi setidaknya aku
harus menepati janjiku, karena ini adalah janji mati.
“Waktu
mengerjakan tinggal sepuluh menit lagi,” pengawas memberi petunjuk waktu
pengerjaan. Debar jantung ini mengalahkan rasa takutku. Aku mengoreksi jawaban
dan mulai berkemas meninggalkan bangku panas-dingin itu. Aku ingin meninggalkan
soal yang begitu membuatku pusing dan mual secepatnya.
Aku
meninggalkan ruang eksekusiku, aku dapat mengalahkan rasa berkecambukku, aku
yakin aku akan jadi pemenang. Aku tidak akan mengalah, tetapi aku akan menyerah pada yang kuasa saat ini,
besok, dan lusa. Jika ini terbaik untukku dari-Nya maka aku akan menerimanya.
Sungguh aku akan menyerah di hadapan-Mu, aku ingin menjadi anak yang berguna
untuk semua, maka izinkanlah, tunaikanlah hajat hamba-Mu yang lemah ini. Aku
ingin membahagiakan orangtuaku, itu cukup dan selebihnya karunia yang Maha Kuasa.
Tuhan yang memiliki rencana, maka aku hanya bisa melakukan yang bisa kulakukan.
Semoga ini terbaik untukku dan oleh-Nya.
“Salma, coba lihat pengumuman online-nya,
aku sudah diterima”, pesan singkat dar i
teman seperjuanganku. Syukur aku panjatkan, teman-temanku telah banyak yang
sudah di terima setelah menunggu satu tahun kemudian. Aku mendapat pekerjaan
shif malam, tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan pekerjaanku. Aku harus
menunggu satu jam lagi. Sabar. Baru kali ini aku merasa waktu satu jam amat
lama seperti setahun telah berlalu. Akhirnya, yang kutunggu pun datang, ibuku
menjemputku karena sudah berjanji untuk menemaniku melihat hasil ujian tertulis
masuk perguruan tinggi.
Aku sudah tidak bisa merasakan tiupan angin yang dingin, tetapi aku
hanya bisa merasakan betapa dinginnya kedua tangan ibuku yang setia menemaniku
mengayuh sepeda untuk mengantarkan aku ke warnet.
Sudah aku prediksikan, impian menjadi
kenyataan, aku tahu dan aku percaya, Tuhan akan memberi sesuatu tepat pada
waktunya. Aku bisa. Aku diterima. Aku akan merawat orang yang juga merasakan
sakit seperti adikku.
Syukurku yang tiada terkira
kupanjatkan, urai air mata kebahagiaan membasahi wajah ibuku, senyum dan tangin
menjadi padu. Jika Sinta berada disini, dia akan tersenyum juga. Aku tidak
sabar memberi kabar bahagia untuk ayahku, beliau pasti akan kagum dengan
perjuangan anaknya selama ini.
Langkah dan pikirku tidak terhenti
begitu saja, aku harus memecahkan kendala dan menghapus kekhawatiranku.
Beasiswa, itu adalah kunci yang harus kucari. Aku menghubungi teman-teman yang
sudah kuliah satu tahun yang lalu, aku harus dapat beasiswa itu.
“Salma,
tenang saja banyak beasiswa kok, aku akan menemanimu mengurus beasiswamu, aku
tahu kamu bisa melanjutkan sekolahmu” sepotong kalimat Hana yang dapat
melegakan perasaanku, hatiku.
Untuk Sinta, adikku tersayang
Kakak telah menepati janji, kamu
tenang di alam sana, kakak akan mendoakanmu.
Kelopak mawar jatuh satu per satu
dengan urai bunga krisan di tanah yang basah.
Hidupku
tak akan ku sia-siakan, jiwa ini akan selalu mengabdi pada negara ini dan untuk
anak-anak Indonesia yang senasib dengan adikku, aku akan merawat kalian sepenuh
hatiku.