Tuesday, 1 November 2016

CERPEN : REVISI HATI


REVISI HATI
Oleh : Dwi Utami


Pagi hari yang cerah ini membawa Aku ke sebuah tempat. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Ini baru permulaan. Kutinggalkan kemewahan dan semua fasilitas yang diberikan orangtuaku. Tawaran sebuah pekerjaan di kota metropolitan meyakinkan aku pada impianku. Aku ingin hidup  mandiri dan menunjukkan kepada semua orang bahwa aku dapat menghidupi diriku tanpa bantuan orang tua. Ada hal lain juga yang membuatku ingin tetap teguh pendirian, aku ingin membuktikan pada seseorang.
Satu tahun yang lalu, aku mulai membuka perasaanku pada seseorang yang tak lain adalah teman sekaligus tetanggaku. Dia sudah tahu kebiasaanku, watakku, dan termasuk kekayaan orang tuaku. Niko, namanya. Dia tinggi, sawo matang warna kulitnya, tetapi bukan itu alasanku mencintainya. Sampai saat inipun aku tidak mengetahui alasanku mencintainya. Prasangkaku tidak jauh dengan kenyataan, dia juga memiliki perasaan yang sama. Perasaan itu tidak salah tetapi keadaan dan kondisi yang menjadi permasalahan. Dia merasa tidak sepadan denganku. Aku sudah menjelaskan bahwa keadaanku dan keadaannya sama, dan aku ingin memulai dari nol. Aku tidak membutuhkan lagi uang sepeserpun dari orang tua.
Malam itu aku bertemu dengan Niko dengan perasaan yang berkecambuk, aku akan membuktikan bahwa ia pantas bersanding denganku. Aku tahu cintanya tulus, tetapi dia terlalu mengulik perbincangan orang lain tentangnya, dia tidak ingin dibanding-bandingkan oleh orang lain tentang kesenjangan ekonomi keluargaku dengan keluarganya dan sebagai laki-laki ia ingin menunjukkan bahwa ia kelak dapat menafkahi keluarganya dengan kerja kerasnya tanpa mengusik meminta bantuan dari orangtua. Aku rasa dia terlalu sempurna untukku, akankah aku  pantas bersanding dengannya kelak jika aku masih bermalas diri. Dan aku memutuskan untuk pergi merantau dan membuktikannya. Setelah aku lulus dari kuliah aku langsung magang dan bekerja sebagai reporter.
Tidak aku pungkiri bahwa jarak telah memisahkan aku dengannya, aku berjanji dengan diriku sendiri untuk bekerja keras dan menghapus kata manja yang telah menghujatku, dan dia berjanji untuk bekerja keras juga hingga ia lebih sukses dari orangtuaku.
Hari-hariku tanpanya menjadi hampa. Rasanya aku seperti selalu sendiri, mimpi yang telah kurancang dan kutulis seakan sia-sia menjadi rematan kertas, aku ingin pergi dari penat ini, tetapi aku takut menghadapi dunia luar yang tak bersahabat, aku ingin berjalan bersamanya beriringan langkah dengannya. Aku terlalu takut untuk melangkah sendiri, aku ingin menikmati dunia dan membagi semua hal bermanfaat bersamanya, karena bersamanya aku tidak lagi takut untuk menghadapi dunia. Cinta yang kumiliki  mungkin tak sebesar cinta semua orang yang mencintai kekasihnya, tetapi ketulusan mencintainya dan keikhlasan menunggunya serta bersabar untuk berdamping dengannya mungkin itu yang membedakannya. Jarak yang memisahkan aku dengannya tidak ada artinya jika saling mengkhianati satu sama lain, dan yang ku tahu aku tak perlu khawatir dengan suatu hal yang tidak penting dan mengganggu fokusku dan aku percaya dengan janjinya malam itu.
Rasa takutku hilang saat aku mulai meresapi kata-katanya. Aku menunggu janjinya dan suatu saat aku akan menagihnya tepat waktu. Mungkin waktu yang hanya mampu mengikis rasa rinduku. Setiap pagi datang, aku selalu merasa bahagia karena hari telah bertambah hingga hari pertemuan dengannya datang disaat yang tepat.
Aku ingin menjadi pendengar yang baik saja dan aku ingin selalu memandang wajahnya ketika ia mulai bercerita. Saat itu mentari sangat terik, keringat diwajahnya mulai bercucuran, dia datang dengan sepeda onthelnya, aku hanya duduk manis di dekat pohon kersen di alun-alun kota. Aku sangat menunggunya. Akhirnya rinduku mulai berkemas dan pulang dirumah tuannya. Dia menceritakan segala yang dihadapinya. Dia memulai bisnisnya dengan cuma-cuma tanpa modal, ia ditawari oleh pamannya untuk menjualkan pekarangannya. Kemudian setelah berhasil menjualkan tahan itu  dia mendapatkan upah, dia tak kehabisan akal, dengan upah yang lumayan tersebut dia mengembangkan uang itu dengan membuat gerobak somai dan menyewakannya. Dan dia juga mulai tertarik dengan bisnis properti yang pada saat itu sedang prospek. Itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan olehnya disaat pemuda yang lain masih terlena dengan gadget baru atau permainan cinta dan sebagainya.
Haru dan semangat baru kutemukan di raut wajah pemuda tampan itu. Sekali lagi aku ingin meluapkan rasa cinta dan rindu itu. Dia tetap rendah hati ketika ia mulai di puncak kejayaan bisnis barunya. Aku turut bahagia dengan hal itu tetapi entah mengapa ada hal yang mengganjal dalam benakku. Pagi itu aku melihat Mbok Jah yang sering bantu masak ibuku, raut mukanya tak secerah dulu, isak tangisnya menetes dipundakku. Aku merelakan hati setelah Mbok Ijah menceritakan semua hal yang terjadi dengan usaha ibuku, perusahaannya gulung tikar dan banyak karyawannya yang memutuskan untuk berhenti kerja. Ibu tidak langsung berbicara denganku, aku sangat kecewa dengan hal itu, mungkin Allah telah memberikan yang terbaik seperti ini dan untunglah aku bukanlah anak manja yang mengharapkan warisan dari orangtua. Hal itu mungkin yang mengganjal di relungku, Niko sudah bisa membuktikan bahwa ia sudah mapan tetapi berbalik dengan keluargaku yang terombang-ambing perekonomiannya.
Daun-daun jatuh tepat di pelupuk mataku. Aku memejamkan mata untuk mengambil daun itu, dan saat aku membuka mata degup jantungku kian menyesakkan napasku. Cincin emas membuatku terkejut dan refleks kataku langsung menolaknya bahkan dia belum berkata-kata apapun maksud dari pemberian cincin tersebut. Kata maaf menjadi ucapan terakhirku dengannya.
Jika dia tahu apa yang sebenarnya yang kurasakan. Ada hal yang membuatku untuk mengatakan kata yang mungkin tidak pernah terbayang di benakku tetapi sangat terngiang dan sulit untukku lupa ketika aku mengucapkannya. Mungkin ini adalah perasaan ketidaksepadanan saat itu yang dirasakan olehnya dan aku merasakannya pula. Aku merasa tidak cocok untuk bersanding dengannya karena saat ini keluargaku bangkrut dan membutuhkan pertolonganku untuk memulihkan keadaan, ibuku yang membangun usaha dan mengurusnya sepanjang hari mulai lelah dengan keadaan yang menjatuhkan dirinya, aku akan menjadi penghibur hati ibu sekaligus tulang puggung keluarga. Niko sudah bahagia dengan kehidupannya dan aku tidak ingin mengusiknya.
Malam tidak ada bintang itu sudah biasa bagiku tetapi sungguh luar biasa ketika bintang yang aku inginkan lepas begitu saja dan yang aku tahu bintang itu mungkin tidak muncul kembali. Namun prasangkaku salah saat itu. Dia mengunjungiku dan ibu, apa yang harus kulakukan setelah aku melukainya dan dia tetap berusaha seakan-akan tidak ada yang terjadi dan aku tidak melakukan kesalahan.
Angin ingin kuhentikan waktu dan aku ingin merevisi hatiku, aku telah melukai orang yang aku cintai. Dia menatapku dan tatapannya begitu dalam hingga aku tak mampu menahan air mata yang kian mendesak. Ku lihat matanya juga berkaca, saat itulah aku paham dengan yang benar-benar ia rasakan. “Penantian, pengorbanan, perjuangan akan sia-sia jika diakhiri begitu saja, ayo kita hadapi bersama-sama, bukankah cinta tidak memandang berapa jumlah uang kita? Apa bisnis yang  kita miliki? Tidak akan ada cinta bila ada pertanyaan konyol semacam itu.” Dia belajar banyak hal tentang cinta, aku malu dan ingin aku perbaiki hati ini agar tak salah lagi dengan cinta.