REVISI
HATI
Oleh
: Dwi Utami
Pagi
hari yang cerah ini membawa Aku ke sebuah tempat. Perjalanan terasa panjang dan
melelahkan. Ini baru permulaan. Kutinggalkan kemewahan dan semua fasilitas yang
diberikan orangtuaku. Tawaran sebuah pekerjaan di kota metropolitan meyakinkan
aku pada impianku. Aku ingin hidup mandiri dan menunjukkan kepada semua orang bahwa
aku dapat menghidupi diriku tanpa bantuan orang tua. Ada hal lain juga yang
membuatku ingin tetap teguh pendirian, aku ingin membuktikan pada seseorang.
Satu
tahun yang lalu, aku mulai membuka perasaanku pada seseorang yang tak lain adalah
teman sekaligus tetanggaku. Dia sudah tahu kebiasaanku, watakku, dan termasuk
kekayaan orang tuaku. Niko, namanya. Dia tinggi, sawo matang warna kulitnya,
tetapi bukan itu alasanku mencintainya. Sampai saat inipun aku tidak mengetahui
alasanku mencintainya. Prasangkaku tidak jauh dengan kenyataan, dia juga
memiliki perasaan yang sama. Perasaan itu tidak salah tetapi keadaan dan
kondisi yang menjadi permasalahan. Dia merasa tidak sepadan denganku. Aku sudah
menjelaskan bahwa keadaanku dan keadaannya sama, dan aku ingin memulai dari
nol. Aku tidak membutuhkan lagi uang sepeserpun dari orang tua.
Malam
itu aku bertemu dengan Niko dengan perasaan yang berkecambuk, aku akan
membuktikan bahwa ia pantas bersanding denganku. Aku tahu cintanya tulus,
tetapi dia terlalu mengulik perbincangan orang lain tentangnya, dia tidak ingin
dibanding-bandingkan oleh orang lain tentang kesenjangan ekonomi keluargaku
dengan keluarganya dan sebagai laki-laki ia ingin menunjukkan bahwa ia kelak
dapat menafkahi keluarganya dengan kerja kerasnya tanpa mengusik meminta
bantuan dari orangtua. Aku rasa dia terlalu sempurna untukku, akankah aku pantas bersanding dengannya kelak jika aku
masih bermalas diri. Dan aku memutuskan untuk pergi merantau dan
membuktikannya. Setelah aku lulus dari kuliah aku langsung magang dan bekerja
sebagai reporter.
Tidak
aku pungkiri bahwa jarak telah memisahkan aku dengannya, aku berjanji dengan
diriku sendiri untuk bekerja keras dan menghapus kata manja yang telah
menghujatku, dan dia berjanji untuk bekerja keras juga hingga ia lebih sukses
dari orangtuaku.
Hari-hariku
tanpanya menjadi hampa. Rasanya aku seperti selalu sendiri, mimpi yang telah
kurancang dan kutulis seakan sia-sia menjadi rematan kertas, aku ingin pergi
dari penat ini, tetapi aku takut menghadapi dunia luar yang tak bersahabat, aku
ingin berjalan bersamanya beriringan langkah dengannya. Aku terlalu takut untuk
melangkah sendiri, aku ingin menikmati dunia dan membagi semua hal bermanfaat
bersamanya, karena bersamanya aku tidak lagi takut untuk menghadapi dunia.
Cinta yang kumiliki mungkin tak sebesar
cinta semua orang yang mencintai kekasihnya, tetapi ketulusan mencintainya dan
keikhlasan menunggunya serta bersabar untuk berdamping dengannya mungkin itu
yang membedakannya. Jarak yang memisahkan aku dengannya tidak ada artinya jika
saling mengkhianati satu sama lain, dan yang ku tahu aku tak perlu khawatir
dengan suatu hal yang tidak penting dan mengganggu fokusku dan aku percaya
dengan janjinya malam itu.
Rasa
takutku hilang saat aku mulai meresapi kata-katanya. Aku menunggu janjinya dan
suatu saat aku akan menagihnya tepat waktu. Mungkin waktu yang hanya mampu
mengikis rasa rinduku. Setiap pagi datang, aku selalu merasa bahagia karena
hari telah bertambah hingga hari pertemuan dengannya datang disaat yang tepat.
Aku
ingin menjadi pendengar yang baik saja dan aku ingin selalu memandang wajahnya
ketika ia mulai bercerita. Saat itu mentari sangat terik, keringat diwajahnya
mulai bercucuran, dia datang dengan sepeda onthelnya, aku hanya duduk manis di
dekat pohon kersen di alun-alun kota. Aku sangat menunggunya. Akhirnya rinduku mulai
berkemas dan pulang dirumah tuannya. Dia menceritakan segala yang dihadapinya.
Dia memulai bisnisnya dengan cuma-cuma tanpa modal, ia ditawari oleh pamannya
untuk menjualkan pekarangannya. Kemudian setelah berhasil menjualkan tahan
itu dia mendapatkan upah, dia tak
kehabisan akal, dengan upah yang lumayan tersebut dia mengembangkan uang itu
dengan membuat gerobak somai dan menyewakannya. Dan dia juga mulai tertarik
dengan bisnis properti yang pada saat itu sedang prospek. Itu bukanlah hal yang
mudah untuk dilakukan olehnya disaat pemuda yang lain masih terlena dengan
gadget baru atau permainan cinta dan sebagainya.
Haru
dan semangat baru kutemukan di raut wajah pemuda tampan itu. Sekali lagi aku
ingin meluapkan rasa cinta dan rindu itu. Dia tetap rendah hati ketika ia mulai
di puncak kejayaan bisnis barunya. Aku turut bahagia dengan hal itu tetapi
entah mengapa ada hal yang mengganjal dalam benakku. Pagi itu aku melihat Mbok
Jah yang sering bantu masak ibuku, raut mukanya tak secerah dulu, isak
tangisnya menetes dipundakku. Aku merelakan hati setelah Mbok Ijah menceritakan
semua hal yang terjadi dengan usaha ibuku, perusahaannya gulung tikar dan
banyak karyawannya yang memutuskan untuk berhenti kerja. Ibu tidak langsung
berbicara denganku, aku sangat kecewa dengan hal itu, mungkin Allah telah
memberikan yang terbaik seperti ini dan untunglah aku bukanlah anak manja yang
mengharapkan warisan dari orangtua. Hal itu mungkin yang mengganjal di
relungku, Niko sudah bisa membuktikan bahwa ia sudah mapan tetapi berbalik
dengan keluargaku yang terombang-ambing perekonomiannya.
Daun-daun
jatuh tepat di pelupuk mataku. Aku memejamkan mata untuk mengambil daun itu,
dan saat aku membuka mata degup jantungku kian menyesakkan napasku. Cincin emas
membuatku terkejut dan refleks kataku langsung menolaknya bahkan dia belum
berkata-kata apapun maksud dari pemberian cincin tersebut. Kata maaf menjadi
ucapan terakhirku dengannya.
Jika
dia tahu apa yang sebenarnya yang kurasakan. Ada hal yang membuatku untuk
mengatakan kata yang mungkin tidak pernah terbayang di benakku tetapi sangat
terngiang dan sulit untukku lupa ketika aku mengucapkannya. Mungkin ini adalah
perasaan ketidaksepadanan saat itu yang dirasakan olehnya dan aku merasakannya
pula. Aku merasa tidak cocok untuk bersanding dengannya karena saat ini
keluargaku bangkrut dan membutuhkan pertolonganku untuk memulihkan keadaan,
ibuku yang membangun usaha dan mengurusnya sepanjang hari mulai lelah dengan
keadaan yang menjatuhkan dirinya, aku akan menjadi penghibur hati ibu sekaligus
tulang puggung keluarga. Niko sudah bahagia dengan kehidupannya dan aku tidak
ingin mengusiknya.
Malam
tidak ada bintang itu sudah biasa bagiku tetapi sungguh luar biasa ketika
bintang yang aku inginkan lepas begitu saja dan yang aku tahu bintang itu
mungkin tidak muncul kembali. Namun prasangkaku salah saat itu. Dia
mengunjungiku dan ibu, apa yang harus kulakukan setelah aku melukainya dan dia
tetap berusaha seakan-akan tidak ada yang terjadi dan aku tidak melakukan
kesalahan.
Angin
ingin kuhentikan waktu dan aku ingin merevisi hatiku, aku telah melukai orang
yang aku cintai. Dia menatapku dan tatapannya begitu dalam hingga aku tak mampu
menahan air mata yang kian mendesak. Ku lihat matanya juga berkaca, saat itulah
aku paham dengan yang benar-benar ia rasakan. “Penantian, pengorbanan,
perjuangan akan sia-sia jika diakhiri begitu saja, ayo kita hadapi
bersama-sama, bukankah cinta tidak memandang berapa jumlah uang kita? Apa
bisnis yang kita miliki? Tidak akan ada
cinta bila ada pertanyaan konyol semacam itu.” Dia belajar banyak hal tentang
cinta, aku malu dan ingin aku perbaiki hati ini agar tak salah lagi dengan
cinta.