MENANTI
CINTA SUPRATMAN
(oleh
Dwi Utami)
Namaku Wanda Ramadhan Suprati, entah
mengapa orang tuaku memberi mahkota yang amat besar dihati ini, seperti inisial
nama pahlawan yang memang kusegani
karena kepandaiannya dalam menciptakan lagu dan bermain musik. Sebagian
keluargaku berprofesi sebagai musisi mungkin itu menjadi alasan kedua orang
tuaku memberi nama yang mirip dengan pahlawan yang menciptakan lagu Indonesia
Raya itu. Wage Rudolf Supratman, namanya gagah tepateri di setiap lirik lagu
kebanggaan Indoesia, aku ingin seperti beliau menciptakan lagu dam memainkan
melodi yang mendidihkan nadi.
Tempat tinggalku jauh dengan lampu sorot
kota yang menyilaukan, kedinginan di malam hari membuatku ingin membuat sajak
cinta yang dapat dikenang oleh setiap manusia di bumi seperti WR Supratman yang
juga terlahir di kota kecil namun karyanya menghiasi ibu pertiwi. Ibuku pernah
berkata bahwa keinginan akan terwujud apabila ada usaha dengan keja keras dan
pantang menyerah, tentunya berdoa kepada yang maha mengabulkan. Ibuku seorang
yang lemah lembut yang mengajarkan aku membuat sajak-sajak kehidupan, sajak
yang penuh arti tenatang kehidupan, sajak yang menjadi doa bagi seluruh umat.
Aku teringat dengan sajak “disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku” karya WR
Supratman yang selalu mengiringi upacara hari senin, terlihat dari sajaknya
beliau memang sosok yang lembut hati dan selalu mengingat sosok ibu yang
melahirkan, itu adalah salah satu alasan mengagumi pahlawan Indonesia, dan aku
sangat bangga dan menghargai pemberian nama dari kedua orangtuaku.
Senin gerimis mengikis batu-batu yang
meringis ada pula yang menangis, sepatuku basah kuyup seragam putih abuku juga.
Di musim penghujan ini di sekolahku jarang melaksanakan upacara hari senin, itu
sangat disayangkan, tiada lagu Indonesia Raya yang bermelodi indah menghibur hari
seninku. Entah aku tidak tahu alasan apa yang membuat aku dimasukkan dalam grup
paduan suara, keluargaku memang berasal dari keluarga musisi tetapi suarakulah
yang terjelek dari anggota keluargaku yang lain, aku hanya bisa membuat
sajak-sajak lagu, untuk menyanyikannya aku butuh latihan ekstra dengan ayahku.
Ayahku ketika sekolah menengah atas memiliki band yang katanya lumayan tersohor
dikotaku, yang jelas aku bangga hanya saja aku sedikit kesal karena aku tidak
pandai bernyanyi sepertinya.
Aku berjalan mengikuti setapak untuk
menuju ruang kelas, sepatuku kulepas agar tidak mengotori ruang kelas. Keadaan
ruang kelas yang teramat kotor sehingga nasib petugas piket yang sedang
mengalami keterpurukan karena harus mengepel, tetapi ini juga kesedihanku
karena tidak upacara hari senin, agak aneh siswa lain dengan senangnya
mengibarkan bendera kebebasan tidak melaksanakan upacara tetapi bagiku itu
adalah musibah. Sebenarnya ada alasan lain juga sih yang membuatku sangat rajin
untuk mengikuti upacara, ada pemandangan indah dan melodi yang teramat indah
pula. Sudah dua pekan sekolahku tidak upacara hari senin hanya apel perwakilan bergilir
setiap kelas saja, itu membuatku resah yang teramat resah.
Rumus kimia yang membuatku pusing dengan
segala kerumitannya, bukankan bahagia itu sederhana bukan rumit seperti ini?
Menyelesaikan satu soal kimia saja aku sudah merasakan kebahagiaan yang luar
biasa, bahagia itu kadang rumit dan perlu usaha. Seandainya ada sosok yang lewat
sekejap saja maklum dua pekan terakhir ini jarang sekali bertemu dengannya dan
mengapa aku juga kesal jika tidak ada upacara hari senin?
Angin sembirit melayangkan kabar entah
bahagia atau membuat keresahan, aku duduk dipojok depan, sekelebat ada bayangan
yang aku sangat hapal dengannya aku tidak menyangka tepat diangka 11:11 dia
datang menuju kelasku dan meminta izin pada guru yang sedang mengajar untuk mengumumkan
sebuah informasi.
Gerimis berhenti sekejap, terik mentari
muncul dengan tiba-tiba, panasnya hingga sampai menghanguskan hatiku, mulai
saat itu aku berhati dingin pada kakak kelas yang teramat aku bangga-banggakan
sejak awal aku masuk ke sekolah menengah. Lomba paduan suara akan diadakan
seminggu lagi, namaku tidak tersebut diantara belasan anak paduan suara yang
biasanya ada pada upacara hari senin tersebut, betapa malunya aku tidak
tersebut padahal keluargaku mayoritas dari musisi, aku kalah telak dengan
senioritas kakak kelas yang kubanggakan tersebut. Sosok WR Supratman yang
pernah kulabelkan padanya hilang. Lenyap. Dia sangat sombong dan angkuh, aku
juga baru sadar, dia sudah memiliki kekasih, hatiku makin hancur
berkeping-keping seperti penghapus murahan yang kuremat di genggaman tanganku.
Ingin kuakhiri segala tentang lagu,
puisi, musik, melodi dan entah apa yang tersangkut paut didalamnnya, aku
kehilangan jiwa WR Supratman. Hari- hari ku lewati tanpa irama, upacara hari
senin terkesan membosankan karena harus bertemu dengannya, melihat
tersenyum-senyum dengan wanita disampingnya dan ingin rasanya kuberlari
menghapus memori tentang kakak kelas yang merubah diri ini. Teman-temanku
memprotes perubahan yang amat drastis pada diriku, aku tidak ingin menyalahkan
mereka ini murni kesalahanku yang telah salah melebihkan dan mengagumi sosok
yang memang bukanlah seperti WR Supratman yang selama ini selalu kukagumi.
Mencintai memang tak seharusnya memiliki membiarkan hatinya bahagia, tetapi ini
sangat sulit untukku melihat dirinya bersanding dengan selain diriku. Aku ingin
meminta maaf pada diriku sendiri atas kebodohanku.
Sajak terakhir
Tanpa kata
Tanpa ucap
Rindu sudah kubuang
Maaf untukku
Dikeheningan malam, kucoba renungkan
WR Supratman
Tiada lagi yang ada selain dirimu
Aku menunggu,
menunggu dengan ikhlas
Sosok seperti dirimu
Sajak terakhir kuukir diatas air yang mengalir
Selamat tinggal.
Melupakan rindu dan luka yang mendera,
cinta tidak akan melukai, biarkan aku menanti cinta yang belum kujejaki.
Kutinggalkan sajak pelampiasanku, aku bangkit dan memulai hari tanpa
mengingatnya lagi, aku percaya cinta akan dipertemukan dengan jodohnya, suatu
saat.
No comments:
Post a Comment