Sunday, 30 October 2016

cerpen : MENANTI CINTA SUPRATMAN

MENANTI CINTA SUPRATMAN
(oleh Dwi Utami)

      Namaku Wanda Ramadhan Suprati, entah mengapa orang tuaku memberi mahkota yang amat besar dihati ini, seperti inisial nama  pahlawan yang memang kusegani karena kepandaiannya dalam menciptakan lagu dan bermain musik. Sebagian keluargaku berprofesi sebagai musisi mungkin itu menjadi alasan kedua orang tuaku memberi nama yang mirip dengan pahlawan yang menciptakan lagu Indonesia Raya itu. Wage Rudolf Supratman, namanya gagah tepateri di setiap lirik lagu kebanggaan Indoesia, aku ingin seperti beliau menciptakan lagu dam memainkan melodi yang mendidihkan nadi.
      Tempat tinggalku jauh dengan lampu sorot kota yang menyilaukan, kedinginan di malam hari membuatku ingin membuat sajak cinta yang dapat dikenang oleh setiap manusia di bumi seperti WR Supratman yang juga terlahir di kota kecil namun karyanya menghiasi ibu pertiwi. Ibuku pernah berkata bahwa keinginan akan terwujud apabila ada usaha dengan keja keras dan pantang menyerah, tentunya berdoa kepada yang maha mengabulkan. Ibuku seorang yang lemah lembut yang mengajarkan aku membuat sajak-sajak kehidupan, sajak yang penuh arti tenatang kehidupan, sajak yang menjadi doa bagi seluruh umat. Aku teringat dengan sajak “disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku” karya WR Supratman yang selalu mengiringi upacara hari senin, terlihat dari sajaknya beliau memang sosok yang lembut hati dan selalu mengingat sosok ibu yang melahirkan, itu adalah salah satu alasan mengagumi pahlawan Indonesia, dan aku sangat bangga dan menghargai pemberian nama dari kedua orangtuaku.
      Senin gerimis mengikis batu-batu yang meringis ada pula yang menangis, sepatuku basah kuyup seragam putih abuku juga. Di musim penghujan ini di sekolahku jarang melaksanakan upacara hari senin, itu sangat disayangkan, tiada lagu Indonesia Raya yang bermelodi indah menghibur hari seninku. Entah aku tidak tahu alasan apa yang membuat aku dimasukkan dalam grup paduan suara, keluargaku memang berasal dari keluarga musisi tetapi suarakulah yang terjelek dari anggota keluargaku yang lain, aku hanya bisa membuat sajak-sajak lagu, untuk menyanyikannya aku butuh latihan ekstra dengan ayahku. Ayahku ketika sekolah menengah atas memiliki band yang katanya lumayan tersohor dikotaku, yang jelas aku bangga hanya saja aku sedikit kesal karena aku tidak pandai bernyanyi sepertinya.
      Aku berjalan mengikuti setapak untuk menuju ruang kelas, sepatuku kulepas agar tidak mengotori ruang kelas. Keadaan ruang kelas yang teramat kotor sehingga nasib petugas piket yang sedang mengalami keterpurukan karena harus mengepel, tetapi ini juga kesedihanku karena tidak upacara hari senin, agak aneh siswa lain dengan senangnya mengibarkan bendera kebebasan tidak melaksanakan upacara tetapi bagiku itu adalah musibah. Sebenarnya ada alasan lain juga sih yang membuatku sangat rajin untuk mengikuti upacara, ada pemandangan indah dan melodi yang teramat indah pula. Sudah dua pekan sekolahku tidak upacara hari senin hanya apel perwakilan bergilir setiap kelas saja, itu membuatku resah yang teramat resah.
      Rumus kimia yang membuatku pusing dengan segala kerumitannya, bukankan bahagia itu sederhana bukan rumit seperti ini? Menyelesaikan satu soal kimia saja aku sudah merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bahagia itu kadang rumit dan perlu usaha. Seandainya ada sosok yang lewat sekejap saja maklum dua pekan terakhir ini jarang sekali bertemu dengannya dan mengapa aku juga kesal jika tidak ada upacara hari senin?
      Angin sembirit melayangkan kabar entah bahagia atau membuat keresahan, aku duduk dipojok depan, sekelebat ada bayangan yang aku sangat hapal dengannya aku tidak menyangka tepat diangka 11:11 dia datang menuju kelasku dan meminta izin pada guru yang sedang mengajar untuk mengumumkan sebuah informasi.
      Gerimis berhenti sekejap, terik mentari muncul dengan tiba-tiba, panasnya hingga sampai menghanguskan hatiku, mulai saat itu aku berhati dingin pada kakak kelas yang teramat aku bangga-banggakan sejak awal aku masuk ke sekolah menengah. Lomba paduan suara akan diadakan seminggu lagi, namaku tidak tersebut diantara belasan anak paduan suara yang biasanya ada pada upacara hari senin tersebut, betapa malunya aku tidak tersebut padahal keluargaku mayoritas dari musisi, aku kalah telak dengan senioritas kakak kelas yang kubanggakan tersebut. Sosok WR Supratman yang pernah kulabelkan padanya hilang. Lenyap. Dia sangat sombong dan angkuh, aku juga baru sadar, dia sudah memiliki kekasih, hatiku makin hancur berkeping-keping seperti penghapus murahan yang kuremat di genggaman tanganku.
      Ingin kuakhiri segala tentang lagu, puisi, musik, melodi dan entah apa yang tersangkut paut didalamnnya, aku kehilangan jiwa WR Supratman. Hari- hari ku lewati tanpa irama, upacara hari senin terkesan membosankan karena harus bertemu dengannya, melihat tersenyum-senyum dengan wanita disampingnya dan ingin rasanya kuberlari menghapus memori tentang kakak kelas yang merubah diri ini. Teman-temanku memprotes perubahan yang amat drastis pada diriku, aku tidak ingin menyalahkan mereka ini murni kesalahanku yang telah salah melebihkan dan mengagumi sosok yang memang bukanlah seperti WR Supratman yang selama ini selalu kukagumi. Mencintai memang tak seharusnya memiliki membiarkan hatinya bahagia, tetapi ini sangat sulit untukku melihat dirinya bersanding dengan selain diriku. Aku ingin meminta maaf pada diriku sendiri atas kebodohanku.
Sajak terakhir

Tanpa kata
Tanpa ucap
Rindu sudah kubuang
Maaf untukku
Dikeheningan malam, kucoba renungkan
WR Supratman
Tiada lagi yang ada selain dirimu
Aku menunggu,
menunggu dengan ikhlas
Sosok seperti dirimu
Sajak terakhir kuukir  diatas air yang mengalir
Selamat tinggal.
     

Melupakan rindu dan luka yang mendera, cinta tidak akan melukai, biarkan aku menanti cinta yang belum kujejaki. Kutinggalkan sajak pelampiasanku, aku bangkit dan memulai hari tanpa mengingatnya lagi, aku percaya cinta akan dipertemukan dengan jodohnya, suatu saat.

No comments:

Post a Comment